Hari Yang Seharusnya Tidak Aku Lalui (Diari Mir’atul Husna Bag. 4)

Suara takbir dan tahmid menggema di seantero dunia, sebuah kalimat pertanda telah tiba hari kemenangan. Hari raya Iedul Fitri dimana kita merayakan kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa.

Pagi-pagi betul kami serumah sudah siap untuk berangkat ke masjid As-Salam, tempat dimana dilaksanakannya sholat Iedul Fitri oleh seluruh warga Indonesia di Mesir. Lalu lalang orang mulai berdatangan ke masjid, aku bersama mbak-mbak serumah turut meramaikan suasana, disini tak perduli pelajar, mahasiswa/I pegawai, pekerja semuanya kumpul ramai-ramai melantunkan kalimat takbir dan tahmid. Dan tiba saatnya kami melaksanakan sholat Ied, dimana khusus untuk putri berada di sebelah kanan masjid yang sengaja didesign khusus oleh panitia. Seusai sholat, dilanjutkan dengan khutbah dan kita semua dengan khusu’ mendengarkan. Prosesi ibadah pun telah usai, kini semua yang hadir di masjid ini saling beramah tamah, saling bermaaf-maafan lalu makan bersama-sama yang telah disediakan oleh KBRI Kairo selaku panitia pelaksana. Disini kulihat tidak ada muka sedih sedikitpun dari wajah teman-teman semua, semuanya bahagia dan ceria padahal mereka kini sedang jauh dengan orang tua, jauh dengan keluarga dan saudara.

Setelah semuanya berlalu dan aku kembali kerumahku, tiba-tiba kurasakan kesedihan yang luar biasa hingga aku tak tahan, bukan aku saja, Mbak Ana pun juga merasakan hal yang sama sehingga tak terasa kami terbuai dalam tangis kecil.

“Lek Aan, pean sibuk gak?” tanyaku dengan nada sedikit terisak-isak pada Lek Aan karena aku takut mengganggu aktivitasnya.

Mungkin Lek Aan sudah menduga sebelumnya sehingga dia langsung mengajak keluar jalan-jalan agar aku lebih merasa tenang. Bersama Kak Imam, Kak Arif Bajita dan Lek Aan, kami berlima jalan, namun entah hendak kemana, kami bingung saat berada di halte bus. Kalaupun harus ke Nil, kami semalam sudah sampai di sana hingga bus dengan nomor 727 melintas, dan spontan saja Lek Aan mengajak naik bus itu yang entah kemana, aku belum jelas tujuannya. Selama perjalanan hanya ada sedikit cerita, selanjutnya kami tertidur selama di perjalanan sehingga tidak begitu memperhatikan jalanan yang kami lewati. Menurut Lek Aan, kami diajak pergi Ashfur, pusat perhiasan cristal di Kairo ini.

Ditempat ini baru pertama kalinya aku melihat bajaj ala Mesir, bentuknya tidak jauh berbeda dengan di Indonesia yang sering aku lihat dari tv. Sesampainya di tempat, tenyata toko Ashfurnya tutup sehingga tiada pilihan lain kecuali pulang. Berjalan menuju tempat halte bus bukanlah tempat yang dekat, untuk pulangnya sekitar hampir 700 meter dari tempat Ashfur, padahal terik matahari benar-benar menyengat dan kami rasakan betul.

Perasaan kesel dan jengkel mulai menyelimuti karena bus yang gak kunjung datang, namun aku masih sedikit terhibur dengan kehadiran beberapa gadis mesir yang mencoba mengajakku ngobrol dan bertanya-tanya seputar diriku, meski aku sedikit kikuk dengan bahasa mereka (‘ammiyah) namun aku merasa enjoy aja, itung-itung belajar ngomong ‘amiyah.

Sejam sudah aku menunggu bus yang akan membawaku pulang, Lek Aan pun sudah mulai jenuh, terlihat di wajahnya yang sedikit kurang bersahabat namun dia memaksa untuk ceria, Mbak Ana pun begitu. Kak Imam mencoba terus menghibur hingga bus yang kami tunggu datang, meski bus yang datang kali ini tidak seperti yang awal kami naiki tadi, bis ini lebih jelek ditambah dengan duduk kami di bangku belakang. Aduh rasanya genap sudah penderitaan ini.

Sesampainya di rumah lek Aan, ia menyuruh ku istirahat dikamarnya. Didalam kamar ini aku sungguh benar-benar merasa sedih, aku benar-benar merasa tidak tahan lagi mungkin kalau aku boleh berteriak, aku ingin sekali berkata “Ibu, aku rindu padamu, maafkan segala kesalahan putrimu ini bu, Bu, di hari yang fitri ini putrimu merasa sedih sekali.”

Malam semakin gelap, Lek Aan pun mengantarkanku pulang dengan temani dengan Kak Imam, namun lagi-lagi hari ini aku kurang beruntung, kami tidak punya kunci sehingga kami harus menunggu diluar sebab Mbak-mbak senior masih di luar semua. Malam ini pikiranku mulai kacau, Mbak Ana pun sama, bahkan dia sudah menangis duluan, Lek Aan yang dari tadi aku suruh pergi juga tidak kunjung meninggalkan kami, mungkin karena dia gak tega membiarkan kami yang masih asing diluar rumah.

Merasa nggak tahan dengan paksaan Lek Aan yang ingin terus menjagaku, sehingga aku dan Mbak Ana mengikuti nasihatnya untuk berkunjung dulu ke rumah Abah Amir. Di rumah Abah Amir aku merasa cukup terhibur atas guyonan-gunonan temen-teman, sehingga aku kembali bisa tersenyum dan merasa bahagia karena mereka merasa perduli sekali dengan aku maupun Mbak Ana hingga Mbak Irma datang dan kamipun pulang.

Dan atas hari ini, sungguh begitu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dimana saat hari yang fitri aku selalu ceria, bahagia apalagi saat dimana para paman-bibi, kakek-nenek dan familiku membriku uang saku, aduh rasanya seneng banget. Dulu aku biasa saling cerita sesama teman-temanku tentang jumlah uang saku yang kami dapatkan.

Tinggalkan komentar